Teori kebudayaan dan ilmu pengetahuan budaya bertujuan untuk mengambarkan pemahaman tentang prinsip-prinsip dan konsep-konsep dasar yang melandasi pandangan-pandangan teoritis tentang kebudayaan. Terdapat keragaman dalam pandangan teoritis tentang kebudayaan yang menentukan bagaimana konsep kebudayaan didefnisikan, mengapa beragam. Kebudayaan didalam tulisan ini memandang kebudayaan sebagai
- Sistem adaptasi terhadap lingkungan;
- Sebagai sistem tanda;
- Sebagai teks, baik yang memahami pola-pola perilaku budaya secara analogis dengan wacana tekstual, maupun yang mengkaji hasil proses interpretasi teks sebagai produk kebudayaan;
- Sebagai fenomena yang mempunyai struktur dan fungsi dan;
- Menurut filsafat.
Teori kebudayaan merupakan usaha konseptual untuk memahami bagaimana manusia menggunakan kebudayaan untuk melangsungkan kehidupannya dalam kelompok, mempertahankan kehidupannya melalui penggarapan lingkungan alam, dan memelihara keseimbangannya dengan dunia supernatural. Perspektif ini merupakan perumusan yang mencirikan teori-teori kebudayaan yang dikembangkan atas dasar pengkajian terhadap perilaku manusia dalam perannya sebagai anggota masyarakat. Artinya suatu masyarakat dengan tradisi lisan (non-literate society), bukan masyarakat dengan tradisi tulisan (literate society).
Memahami kebudayaan—membuat teori kebudayaan—adalah yang berasal dari Saussure, Peirce, dan Teori interpretasi teks. Pandangan Saussure yang mencanangkan prinsip penting bahwa tanda (dalam bahasa) terdiri atas yang menandai (signifiant, signfier, penanda), dan yang ditandai (signifie, signified, petanda). Baik penanda maupun petanda tidaklah dapat dipisahkan satu dari yang lain, seakan-akan yang kedua adalah sisi sebelah dari yang pertama, ibarat kedua sisi sehelai kertas; helai kertas itu sendiri adalah tanda. Baik penanda maupun petanda bersifat mental; penanda adalah citra bunyi, sedangkan petanda adalah gagasan atau konsep.
Pandangan Pierce, tanda mempunyai tiga komponen, yaitu representamen yang merupakan unsur realitas luar-individu yang “mewakili” suatu unsur lain dari realitas termasuj yang disebutnya objek; dengan kata lain, representamen berfungsi sebagai penanda dan objek berfungsi sebagai petanda. Namun relasi fungsional itu baru terjadi jika saling dikaitkan oleh interpretan.
Interpretasi suatu teks dalam arti yang luas maupun yang sempit bertumpu pada dua prinsip penting, yaitu (1) “lingkaran hermeneutik”, suatu interpretasi bersifat melingkar karena pemahaman salah satu unsur dan suatu teks membentuk pemahaman keseluruhan dari teks itu, namun sebaliknya keseluruhan dari teks memberikan pemahaman kepada unsur teks termaksud. Dengan demikian, secara progresif terjadi pemahaman yang makin mendalam tentang unsur atau bagian dari teks maupun tentang keseluruhan teks itu. dan (2) makna tunggal (textual monosemy) atau makna majemuk (textualpolysemy). Makna tunggal berusaha menafsirkan teks sesuai dengan apa yang dimaksud oleh penulisnya, atau lebih umum, oleh pengirim atau sumbernya. Makna majemuk, penafsiran berubah-ubah bergantung pada siapa pembacanya. Pemaknaan oleh pembaca atau penerima kepada teks itu berdasarkan pengetahuan dan pengalaman hidupnya. Ini juga disebut proses interpretasi itu sebagai “perpaduan wacana baru dengan wacana teks. Pendirian kedua ini memberikan ciri dinamis kepada usaha interpretasi, karena dari satu waktu ke waktu yang lain interpretasi dapat berbeda, tetapi yang disertai pemahaman yang lebih mendalam dengan bertambahnya pengalaman pembaca atau penerima.
Kebudayaan dianggap sebagai teks, permasalahan yang dihadapi pengkajinya adalah bahwa ia harus “membaca” kebudayaan itu dan pada kemungkinan untuk merekonstruksi apa sebenarnya maksud “pembuat” kebudayaan itu. Dengan demikian, pola perilaku dan pola tindakan warga masyarakat merupakan manifestasi budaya yang memiliki makna intrinsik yang dipadukan dengan makna yang bersumber pada pengalaman dan pengetahuan pengkaji tersebut. Perpaduan ini adalah yang dimaksud dengan “interpretasi”. Maka dapat dipahami bahwa teori kebudayaan yang dipengaruhi oleh semiotik atau oleh teori teks menempatkan kebudayaan sebagai sesuatu yang tidak berada di dalam batin manusia, tetapi yang berada di antara para warga sebagai sesuatu yang harus “dibaca” dan ditafsirkan (Christomy & Yuwono, 2010).
Riview
Sampai seberapa jauh pengetahuan tentang teori-teori kebudayaan dapat digunakan untuk keperluan praktis? Teori-teori kebudaya dapat digunakan untuk keperluan praktis seperti apa yang telah dijelaskan di atas, seperti penggunaan pandangan Saussure, Peirce, dan Teori interpretasi teks. Pandangan Saussure dapat digunakan untuk memaknai tanda, tanda sebagai sesuatu yang menstruktur (proses pemaknaan berupa kaitan antara penanda dan petanda) dan terstruktur (hasil proses tersebut) di dalam kognisi manusia, dimana hubungan bentuk dan makna tidak bersifat pribadi, tetapi sosial yakni didasari oleh “kesepakatan” (konvensional) sosial”. Sementara pierce, memaknai “tanda bukanlah suatu struktur melainkan suatu proses kognitif dari apa yang berasal dari apa yang ditangkap pancaindra.
Salah satu contoh pemaknaan tanda menggunakan pendekatan ini terlihat dari Makanan sebagai kode simbolik dan juga penanda budaya khususnya masyarakat Amerika Serikat (Sahlins, 1990). Sebuah kebudayaan atau tatanan sosial suatu masyarakat tertentu dapat dilihat dari makanan yang mereka makan. Di Amerika anjing dan kuda adalah hewan yang dekat dengan manusia, sehingga hewan tersebut tidak dimakan. Anjing dan kuda lebih dekat dengan manusia, sementara babi dan sapi merupakan hewan yang dapat dimakan. Daging sapi memiliki kekuatan kedudukan sosial yang lebih tinggi dan kesempatan sosial yang lebih besar daripada daging babi. Aturan tersebut dibuat oleh masyarakat tanpa mempertimbangkan unsur fisik atau nilai ekonomis yang terdapat dalam objek yang dirujuk, melainkan karena mereka menciptakan nilai simbolis tersendiri yang sudah melekat dan menjadi budaya.
Kebudayaan tidak lahir secara alamiah. Tidak ada budaya yang ‘sudah dari sananya’ ketika melihat struktur yang berada di dalam kebudayaan itu sendiri. Dari Makanan sebagai kode simbolik, sejarah hubungan manusia dengan hewan menjadi faktor lahirnya kebudayaan ‘hewan yang bisa dimakan dan tidak’, ada ideologi di balik kebudayaan tersebut. Apabila orang Amerika tidak menjaga budaya tersebut, budaya bisa berubah, bisa jadi anjing dan kuda menjadi hewan yang bisa dimakan. Jika borjuis tidak membedakan kalau steak itu lebih berkelas dibanding daging babi, kebudayaan bakal bergeser/berubah juga.
Memahami teori-teori kebudayaan kita dapat melihat, memahami dan memaknai kebudayaan secara komperehensif. Pemaknaan atas kebudayaan ini menjadi penting untuk dapat melihat makna dibalik apa yang telah dituliskan dalam bentuk teks. Teks disini tidak hanya tulisan saja, tapi juga segala sumber termasuk lisan.
Referensi
Masinambow, E. K. M. (2010). Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Budaya. In T. Christomy & U. Yuwono (Eds.), Semiotika Budaya (2nd ed.). Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya FIB Universitas Indonesia
Sahlins, M. (1990). Food as symbolic code. Culture and society: Contemporary debates, 94.
Catatan
Artikel Masinambow disusun untuk memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Matakuliah Teori Kebudayaan Program Magister Ilmu Perpustakaan dan Informasi FIB UI 2020.
Posting Komentar untuk "Teori kebudayaan dan ilmu pengetahuan budaya "
Untuk pembaca blog Ganipramudyo.web.id, Feel free to ask!