Menurut Bachmann-Medick (2012) kebudayaan sebagai teks merupakan memberikan gambaran kehidupan sosial diatur melalui tanda dan simbol, serta representasi dan interpretasi atas tanda dan simbol. Adanya travelling concept, mengembangkan pemahaman budaya sebagai kumpulan teks dan susunan semiotik dari simbol-simbol yang terbacakan melalui bentuk-bentuk ekspresi budaya dan representasinya. Konsep budaya sebagai teks didasarkan pada pemahaman akan budaya sebagai struktur makna di mana tindakan diterjemahkan ke dalam tanda secara terus-menerus. Hal ini mendorong tantangan untuk mengembangkan sebuah pembacaan atas realitas yang diterima di mana interpretasi tetap dipasangkan dengan realitas sosial yang konkret atas peristiwa dan tindakan. Memahami budaya sebagai teks berarti membangun suatu pembacaan atas apa yang terjadi.
Teks perlu dibaca sebagai “cultural performances” yang tidak hanya memperlihatkan realitas namun juga membentuk realitas itu. Hal ini mendorong perubahan fokus dari teks kepada praktik, yang kemudian menghasilkan “performative turn.” Dalam kajian sastra pada dasarnya berkaitan dengan teks dan bukan praktik, namun praktik itu sendiri ada di dalam teks. Oleh karena itu, pembacaan teks-teks sastra tidak hanya melihat isi dan makna, namun juga melihat susunan praktik. Hal ini dapat menuntun pada analisis budaya yang lebih komprehensif di dalam kajian sastra.
Kebudayaan sebagai teks memperlihatkan realitas yang terjadi di masyarakat. Artinya teks dipandang sebagai produk yang dihasilkan manusia yang memiliki makna. Pemaknaan teks diperoleh melalui proses pembacaan teks. Pembacaan teks tidak hanya melihat isi dan makna, namun juga melihat susunan praktik kehidupan sosial. Kebudayaan sebagai teks membentuk realitas yang ada di masyarakat. Artinya manusia tidak hanya sebagai pencipta teks, namun juga sebagai pengguna teks itu sendiri. Produk yang diciptakan dapat memengaruhi pandangan masyarakat, dan memunculkan teks lain berdasarkan pandangan itu.
Contoh
Contoh kebudayaan sebagai teks, dapat dilihat dari cerita Malin Kundang. Nilai yang terkandung adalah menghormati dan menghargai orang tua, lalu membentuk realitas di masyarakat bahwa sebagai anak tidak boleh durhaka. Lebih lanjut pembacaan kebudayaan teks ini dapat dilihat mendalam dengan beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan pengirim, memperhatikan maksud dan posisi pengirim. Kedua, pendekatan penerima atau pembaca. Ketiga, pendekatan kontekstual dengan melihat konteks yang berlangsung saat suatu teks dibuat (Setyawan, 2018).
Contoh yang ada di sekitar penulis adalah cerita rakyat Ande-Ande Lumut. Ande-Ande Lumut merupakan cerita rakyat berasal di Kediri, Jawa Timur. Cerita ini mengisahkan pasangan suami istri Panji Asmarabangun (Ande Ande Lumut) dan Dewi Sekartaji (Kleting Kuning) yang terpisah, namun disatukan kembali. Diceritakan, Kerajaan Jenggala diserang oleh musuh, mengakibatkan Dewi Sekartaji melarikan diri dan menyamar sebagai gadis kampung dan mengabdi sebagai pembantu Nyai Intan. Nyai intan memiliki ketiga orang anak Kleting Abang (sulung), Kleting Ijo, dan Kleting Biru (bungsu), Dewi Sekartaji pun diangkat sebagai anak angkat diberi nama Kleting Kuning. Singkat cerita, Panji Asmarabangun berhasil memenangkan pertempurannya, menyamar menjadi Ande Ande Lumut, melakukan sayembara mencari istri. Kleting Abang, Kleting Ijo, dan Kleting Biru ikut sayembara ini, ditengah perjalanannya harus menyebrang sungai, dengan menggunakan segala cara, bertemu dengan Yuyu Kangkang. Agar dapat menyebrang yuyu kangkang memberikan syarat agar mereka mau diciumnya, mereka setuju dan berhasil melewati sungai. Kleting Kuning pun pergi juga, dan bertemu yuyu kangkang ditengah perjalanannya namun menolak persyaratan yang diberikan. Di akhir, Kleting Abang, Kleting Ijo, dan Kleting Biru tidak dipilih oleh Ande Ande Lumut karena telah ternodai oleh yuyu kangkang, memilih kleting kuning. Keduanya berubah, bahwa Ande Ande Lumut adalah Panji Asmarabangun dan Kleting Kuning adalah Dewi Sekartaji yang menyamar tanpa tahu sebelumnya (Histori, 2018).
Makna yang terkandung dalam cerita di atas adalah pertama, perempuan harus menjaga kesuciannya (Klenting abang, klenting biru dan klenting ijo untuk memperoleh tujuannya dengan menghalalkan segala cara, ketiganya rela “dicium/dinodai” oleh Yuyu Kangkang adalah tidakan yang tidak sepatutnya dilakukan). Kedua, Pria harus memilih perempuan yang masih suci dan tidak memilih perempuan yang cantik luarnya saja. Ketiga, kesetian pasangan yang harus dimiliki oleh setiap orang (Ande-ande lumut melakukan penyamaran mencoba menemukan istrinya, Kleting Kuning menyamar, setia menunggu kabar dari suaminya). Cerita Ande-ande lumut selanjutnya membentuk realitas dan membentuk keyanikan di masyarakat bahwa perempuan harus menjaga kesuciannya, tidak menghalalkan segala cara yang dapat merugikan dirinya, pria harus memilih perempuan yang menjaga kesuciannya dan setiap pasangan harus saling menjaga kesetiannya satu sama lain.
Pembacaan cerita Ande-Ande Lumut, dapat dilakukan dengan memerhatikan pendekatan pengirim, pembaca dan konteks yang berlangsung. Pengirim, cerita Ande-Ande Lumut merupakan cerita rakyat di masyarakat kediri, banyak diceritakan secara lisan, baik oleh orang tua maupun guru di sekolah. Penulis sendiri mengetahui cerita ini dari guru, namun saat ini tidak terbatas secara lisan, dikemas melalui film, buku cerita, dll. Pembaca, penulis sebagai pembaca mencoba memahami makna-makna dari cerita ini. Posisi penulis sebagai pembaca tinggal di Kediri yang merupakan tempat dimana cerita rakyat ini lahir. Ketiga, kontekstual, cerita rakyat ini lahir semasa kerajaan jenggala dan kadiri, hadir di masa lalu dan masih diceritakan hingga sekarang
Referensi
Bachmann-Medick, D. 2012. Culture as text: Reading and interpreting cultures. Travelling Concepts for the Study of Culture, 2, 99.
Histori. 2018. “Legenda Ande Ande Lumut” dalam https://histori.id/legenda-ande-ande-lumut/ diakses pada 18 Mei 2020
Setyawan, Aan. 2018. “Culture as Text: Kebudayaan Sebagai Realitas dan Membentuk Realitas?” dalam https://belajarbahasa.id/artikel/dokumen/471-culture-as-text-kebudayaan-sebagai-realitas-dan-membentuk-realitas-2018-02-01-21-56 diakses pada 18 Mei 2020
Posting Komentar untuk "Kebudayaan sebagai tanda: Malin Kundang"
Untuk pembaca blog Ganipramudyo.web.id, Feel free to ask!