Artikel ini merangkum tulisan Yoshimi, S. yang berjudul Consuming ‘America’: From symbol to system. Routledge. Pertanyaan terkait bagaimana simbol berubah menjadi sistem akan dibahas di dalam bagian ini.
Rangkuman
Tokyo Disneyland (TDL) dibuka di pinggiran kota Tokyo pada tahun 1983. Taman hiburan ini disebut sebagai 'Amerika' di Jepang '. Asal-usul dan keberhasilannya dipandang sebagai puncak 'Amerikanisasi' Jepang pascaperang. Yoshimi menjabarkan politik budaya TDL dan mempertimbangkan kembali proses Amerikanisasi di Jepang kontemporer, mengklarifikasi perubahan struktural 'Amerika' di Jepang yang terjadi sejak tahun 1970-an serta menempatkan proses pengembangan dan konsumsi 'Amerika' di Jepang dalam topografi identitas global kontemporer.
Pada akhir 1920-an, Film-film Hollywood, konsumsi, dan gaya hidup Amerika mulai memikat penduduk kelas menengah seperti Tokyo dan Osaka. Majalah bulanan Jepang sering memuat topik khusus 'Amerika' seperti gaya hidup dan mode Rusiaisme dalam pemikiran sosial. Setelah 1930-an, Ginza di Tokyo menjadi pusat di mana Amerikanisme. Tahun 1943, Shimizu, sudut pandang sosiologisnya, beberapa fragmen budaya Amerika diimpor ke Jepang, namun tidak mungkin mempertahankan fungsi aslinya, karena fungsi budaya selalu tergantung pada konteks. Tahun 1950, surat kabar Asahi shinbun mengadakan 'Pameran Amerika' di Nishinomiya. Ada kontinuitas Amerikanisme di Jepang dari masa sebelum perang hingga periode pascaperang.
Tahun 1970-an, 'Amerika' di Jepang mengalami transformasi struktural tertentu. Singkatnya, transformasi ini adalah perubahan dari 'Amerika' sebagai simbol ke 'Amerika' sebagai sistem. Seperti yang ditunjukkan oleh kemajuan McDonald's di Jepang dan kelahiran TDL. "Amerika" pada saat itu tidak menjadi simbol yang membuat orang terpesona tetapi sebuah artefak yang orang akan konsumsi berulang kali.
TDL dapat menarik banyak orang didasarkan pada kekuatan sistem yang menawarkan konsumsi berbagai citra diri dalam lanskap komersial. TDL adalah 'Amerika' di Jepang. 'Amerika' ini adalah sistem konsumsi yang membangun identitas diri Jepang sebagai barang habis pakai, atau sebagai sesuatu yang akan dijajah. TDL berisi place of self-sufficiency-Tempat dirancang agar orang sulit melihat dunia luar dari dalam taman, sehingga dapat fokus yang ada di taman. Terdapat World Bazaar, Fantasyland, Adventureland, Westernland, dan Tomorrowland yang menawarkan atraksi dan wahana berisi urutan serial. Esensi Disneyland jauh lebih dekat dengan film daripada ke taman hiburan lainnya.
Sayers mengkritik tradisi rakyat yang diubah secara kasar dan vulgar di dalam fantasi disney, contohnya Snow White and the Seven Dwarfs. Disney mengubah karakter kurcaci aneh menjadi menggemaskan, dongeng awalnya tentang kematian dan kelahiran kembali diubah menjadi fantasi gadis muda memimpikan pangerannya.
Setelah tahun 1970-an, TDL biasanya disebut sebagai "Amerika" di Jepang '. Asal-usul dan keberhasilannya dipandang sebagai puncak dari Amerikanisasi pascaperang. TDL adalah artefak impor dari AS. 'Amerika' ini telah diinternalisasi sejauh Jepang akan merasa akrab dengan budaya 'Amerika' lebih dari dengan budaya tradisional Jepang. Intinya adalah bahwa proses ini bukan 'penjajahan' Jepang oleh imperialisme budaya Amerika, atau hanya 'domestikasi' Amerika ke dalam konteks Jepang. Sepanjang proses, Jepang telah dieksternalkan ke tingkat yang sama seperti Amerika telah diinternalisasi. Jadi, struktur pertentangan antara 'Jepang' dan 'Amerika'; 'internal' dan 'eksternal' tidak lagi dapat berfungsi sejak 1980-an.
Bagaimana simbol berubah menjadi sistem?
Masyarakat Jepang telah mengalami proses Amerikanisasi sejak tahun 1920an. Film-film Hollywood, barang-barang konsumsi, dan gaya hidup Amerika mulai memikat penduduk kelas menengah dari lingkungan kota-kota besar seperti Tokyo dan Osaka. Fenomena ini berlangsung sampai Perang Dunia II berakhir. Melihat hal ini Yoshimi menilai bahwa orang-orang Jepang melihat Amerika sebagai simbol kekayaan, kebaruan dsb.
Sejak tahun 1970an, terjadi tranformasi struktural dari ‘Amerika’ di Jepang. Dalam hal ini, simbol menjadi sistem. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang pesat di Jepang, mulai dari tahun 1955 hingga 1973. Akibatnya inferioritas orang-orang Jepang mulai berkurang, di mana mereka tidak lagi merasa lebih miskin dibanding orang-orang Amerika. Disaat yang sama muncul generasi baru yang mulai menikmati berbagai jenis gaya dan budaya sebagai artefak komoditas. Generasi ini berbeda dengan generasi sebelumnya yang hanya mengagumi "Amerika" sebagai simbol-simbol yang sudah disebutkan sebelumnya. Dengan demikian, “Amerika” yang dipandang sebgai simbol mulai berkurang (terdilusi) dan mulai beroperasi pada level yang lebih dalam.
Dalam artikelnya, Yoshimi menggunakan TDL sebagai perbandingan untuk menjelaskan pergeseran simbol menjadi sistem dalam masyarakat Jepang. TDL menawarkan kepada pengunjungnya pengalaman nyata atas imajinasi atau fantasi sebagaimana yang digambarkan dalam film-film Disney. Begitu pula dengan masyarakat Jepang yang setelah mengalami perkembangan ekonomi dapat merasakan apa yang selama ini mereka kagumi ketika melihat “Amerika” di layar kaca. Hal ini kemudian menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang dan terinternalisasi dan melekat sebagai suatu sistem di sana.
Referensi
Yoshimi, S. (2002). Consuming ‘America’: From symbol to system. In Consumption in Asia (pp. 218-240). Routledge.
Artikel ini disusun oleh Gani Nur Pramudyo, Hermin Triasih, dan Liliane Mojau
Posting Komentar untuk "Amerikanisasi Jepang: dari simbol ke sistem (Consuming ‘America’: from Symbol to System)"
Untuk pembaca blog Ganipramudyo.web.id, Feel free to ask!